Memutus "Disaster Life Cycle" dengan "Build Back Better"

December 7, 2012, oleh: Editor

Sekedar contoh
Wilayah Indonesia tergolong wilayah yang rentan terhadap gempa bumi, karena letaknya yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.  Sejarah mencatat bahwa Indonesia beberapa kali diguncang gempa yang sangat dahsyat yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Beberapa gempa besar tersebut adalah gempa Padang (1797/ 8,4 SR), gempa Mentawai (1833/8,8 SR), gempa Nias (1861/8,5 SR), gempa Laut Banda (1983/8,5 SR), gempa Aceh (2004/9,1 SR), gempa Nias (2005/8,7 SR), gempa Yogyakarta (2006/6,2 SR), gempa Tasikmalaya (2006/7,7 SR), gempa Padang (2009/7,6 SR), dan gempa Mentawai (2010/7,2 SR).

Apabila terjadi gempa bumi, korban berjatuhan bukan karena gempa itu sendiri, tetapi korban meninggal dan luka-luka dikarenakan keruntuhan bangunan atau rumah tinggalnya. Sehingga salah satu solusi untuk menekan jumlah korban adalah dengan adanya jaminan bahwa bangunan yang ada kuat melawan goyangan gempa bumi.
Selain korban jiwa, gempa bumi juga mengakibatkan damage and Loss yang tidak sedikit. Sebagai contoh, hasil Damage and Loss Assessment (DaLa) yang dilakukan oleh BAPPENAS pada Gempa Yogyakarta 2006 adalah sebesar 3, 134 US$ Million (atau sekitar 31,34 Milliar Rupiah).
Sedangkan biaya emergency respon dan rehabilitasi-rekonstruksi tentunya akan lebih besar lagi. Bisa dibayangkan apabila setiap terjadi gempa bumi, masyarakat dan pemerintah Indonesia harus menanggung biaya sebesar itu, maka bisa dipastikan pembangunan akan terhambat, karena anggaran tersedot habis untuk penanggulangan bencana.
Namun seandainya pembangunan pasca gempa bumi dilakukan dengan selektif dan memenuhi persyaratan bangunan yang aman terhadap gempa bumi, niscaya apabila terjadi gempa lagi maka jumlah korban bisa ditekan, dan damage and Loss juga menjadi kecil. Bahkan untuk gempa yang tidak terlalu besar, bangunan kita tetap save, sehingga tidak diperlukan biaya emergency dan rehab-rekon. Dengan demikian Disaster Lyfe Cycle menjadi terputus di sini, dan gempa bumi yang mengguncang di masa yang akan datang tidak lagi menjadi bencana dan tidak menimbulkan korban dan kerusakan. Pembangunan pun menjadi tidak terhambat, karena dana tidak tersedot untuk penanggulangan bencana.

Gambar1. Disaster Lyfe Cycle

Permasalahan yang muncul biasanya terletak pada biaya pembangunan yang menjadi relatif mahal apabila memakai persyaratan bangunan tahan gempa, sehingga masyarakat terkadang keberatan. Mungkin perlu dilakukan studi lebih lanjut apakah  tambahan biaya untuk bangunan  tahan gempa cukup signifikan dibanding nilai kerugian dan kehilangan akibat kerusakan bangunan yang tidak tahan gempa ketika diguncang gempa bumi.
Restu Faizah.